Malam ini, malam 9 november 2008. Merasakan bulan diatas kepala mencucup ubun-ubun. Udara menjelma bagai ribuan jarum yang alit menusuki setiap lapisan kulit jaket lalu terbiakkan oleh gerimis tipis. Lampu-lampu jalan berpedar mengerucut dan mewarnai setiap langkah beratku. Asap dari sebatang rokok mengepul keluar dari bibir yang sarat dengan keletihan. Lelah………….
“Dapatkah kutukar sebaris karanganku ini untuk mendapatkan sebungkus rokok tuan?”
“Maaf Nak, ini Jakarta. Kertas putih yang hanya dilumuri cairan hitam tinta itu takkan ada yang menghargai” suara seorang dijajaran kaki lima menyedihkan setiap angan-angan tentang impianku.
“Tapi…….”
“Siapa peduli, lari saja kekerumunan orang-orang disana. Lalu kau teriakkan bait-baitnya. Dan siapa peduli. Tidak ada nak!”
Sementara kulangkahkan kaki yang terkompas, aku hanya berfikir tentang seorang anak yang bercita-cita tinggi namun harus menangguhkannya dibawah kaki kota. Betapa dunia ini telah tercipta untuk mereka sang kapitalis. Manusia sepertiku sebaiknya masuk keranjang sampah.
“Untuk apa kamu hanya berdiri dan diam saja didepan etalase pertokoan nak, bukankah masih banyak yang bisa kau kerjakan?” Wanita dengan selendang kumel menggendong keranjang berisi kelapa segar. Lalu kutanyakan hal yang sama seperti sebelumnya. “Untuk apa nak, mampukah anak-anakku dirumah kenyang dengan secarik kertas lecek itu. Atau mampukah suamiku membeli obat atas sakitnya yang sudah sebulan ini parah?”
“Dapatkah kutukar sebaris karanganku ini untuk mendapatkan sebungkus rokok tuan?”
“Maaf Nak, ini Jakarta. Kertas putih yang hanya dilumuri cairan hitam tinta itu takkan ada yang menghargai” suara seorang dijajaran kaki lima menyedihkan setiap angan-angan tentang impianku.
“Tapi…….”
“Siapa peduli, lari saja kekerumunan orang-orang disana. Lalu kau teriakkan bait-baitnya. Dan siapa peduli. Tidak ada nak!”
Sementara kulangkahkan kaki yang terkompas, aku hanya berfikir tentang seorang anak yang bercita-cita tinggi namun harus menangguhkannya dibawah kaki kota. Betapa dunia ini telah tercipta untuk mereka sang kapitalis. Manusia sepertiku sebaiknya masuk keranjang sampah.
“Untuk apa kamu hanya berdiri dan diam saja didepan etalase pertokoan nak, bukankah masih banyak yang bisa kau kerjakan?” Wanita dengan selendang kumel menggendong keranjang berisi kelapa segar. Lalu kutanyakan hal yang sama seperti sebelumnya. “Untuk apa nak, mampukah anak-anakku dirumah kenyang dengan secarik kertas lecek itu. Atau mampukah suamiku membeli obat atas sakitnya yang sudah sebulan ini parah?”