31/03/11

Perempuan yang Kunikahi dengan Puisi

Aku merasa bersalah bila menatap matamu yang bagai ceruk dalam, setelah hangus dalam ranjangmu semalam. Oh tapi aku tahu itu keinginanmu bukan? Kau bahkan sepertinya bahagia bukan kepalang bila malam-malam--ketika tak ada satu lelaki pelanggan pun yang melirikmu dan mau tidur denganmu--tiba-tiba aku datang dan menyambutmu dengan pelukan sayap lelaki bujang. Aku merasa sesat bila terjebak lagi dengan pertemuanmu, bagai menemukan beruang lapar di hutan. Dan sebaliknya anehnya jadi serba salah, bila aku tak kunjung bertemu denganmu aku malahan merasa dingin dan sepi sekali. Aku merasakan bahwa aku sedang berenang di lautan es tanpa busana. Tanpa ada rumah yang mau menyambutku dengan api unggun dan segelas susu hangat.

Aku selesaikan ciumanku denganmu begitu khdimat ketika bibirku lumat dan bibirmu masih bermain peran. Kau malah sempat menghempaskan tubuhmu lagi di kasur empuk, merubung tubuhku dengan goda. Dan sedikit-sedikit ingin kembali luruh denganku ketika jari lentikmu mengajak bercinta lagi. Tak bisa, kataku padamu. Aku harus pulang, kuliah pagi ini. Aku harus siapkan buku-buku dan makalah yang akan aku persentasikan tepat di depan dosen. Mata kuliah mengajarkanku untuk membagi waktu sebaik mungkin, cinta dan karir begitu bebarengan. Mudah-mudahan lancar, ucapku padanya. Agar ia ngerti dan mau mendoakanku.

Aku tahu dia akan pulang dan merasakan lagi kengerian yang sudah bisa aku tangkap dalam kecemasannya ketika aku mulai mengancingkan kemejaku. Dia selalu merasakan cemas yang dasyat. Padahal dia perempuan yang masih muda dan cantik dengan bibir yang tak bosan-bosan menawarkan candu. Tubuhnya ramping, dan di dadanya ada sepasang apel matang. Dia tak terlalu pintar dari bagaimana cara bercerita tentang dirinya juga hidupnya padaku, namun dengan otak yang sedemikian rupa tergambar dari perilakunya mencermati perjumpaan berkali-kali, dia sepertinya masih cukup pantas sekolah di kampus swasta yang tersebar di penjuru kota.

Aku tahu dia mempunyai kecemasan yang besar, sangat bisa aku rasakan. Namun senantiasa dia menyeruakan, tak ada apa-apa aku, karena baginya diriku tujuannya. Dia selalu seperti itu bila kutanyai ‘ada masalah?’ kurang lebih jawabnya sampai di situ.
Aku tak mau memaksa menanyainya, tak ada gunanya. Dia perempuan paling cantik dan paling bisa memahamiku dalam segala hal di usiaku yang masih muda. Aku masih ingat dengan ice cream yang ia pilihkan
untukku. Bukan main mengapa dia bisa mengetahui aku menyukai rasa coklat dengan balutan selai strobery dan kacang. Bagi orang ini sepele, bagiku ini luar biasa. Ini sesuatu yang sempurna, apalagi ketika dia membelikanku baju berwarna putih dengan motif gambar anak anjing. Dia seakan dikirim Tuhan untukku. Dengan segala kekuasaan yang mampu menyihirku. Orang harus bisa menemukan pasangannya yang membuat ia merasa nyaman dan cocok, dalam hal kecil maupun hal besar.

Makanya, aku tak akan melepasnya begitu saja. Dia akan kupelihara bagai sebongkah tanah yang ditanami pepohanan jangkung. Dengan bermacam buah tumbuh bergelantungan dalam rimbun dan keteduhan daunan di hatiku. Setiap kemarau aku ada di sana. Setiap musim hujan juga aku akan di sana, menengokinya, bagai menengoki kebun siap panen di segala musim. ‘Aku cinta kau wahai kebun yang setiap saat siap kupetik’ padanya kubisiki.
***
Aku, begitu selasai kuliah dan mengerjakan tugas Filologiku, segera bergegas menuju taman parterre. Di sana aku biasa merebahkan tubuhku ke rerumputan sambil menatap kemilau cahaya senja di daunan. Aku merasa ingin menulis puisi. Akan kucari tempat biar membantu pikiranku lebih jernih lagi. Aku biasa mengingat-ingat gadis yang dulu sempat aku taksir, dini, kiki, fuji, sri, putri dan banyak lagi. Aku ingat-ingat lagi mereka. Agar membantu mencairkan perasaan yang bisa dituangkan dalam tulisan. Walaupun ujung-ujungnya puisi selalu menjadi isi curahan, ah persetan.

Aku lihat orang-orang sudah banyak yang duduk di taman. Ada anak jurusan bahasa inggris pacaran. Dia bukan temanku, hanya saja aku hapal saja wajah-wajahnya. Mengapa tiba-tiba aku lupa ingin menulis puisi. Di sini memang selalu seperti itu. Tak tentu.
Ada nyamuk-nyamuk yang mengganggu lamunanku. Aku tak sempat membuka buku catatan dan menuliskan sepatah kata pun, keburu temanku datang. Suara knalpotnya bukan main keras, merobek lengangnya sepi taman. Ah, Erik dari dulu sudah begitu, gengster motor selalu punya sikap yang semaunya. Dia mengajakku pulang ke kostanku, aku ikut saja dengannya. Setelah ia menawariku untuk membeli sebotok anggur dan sebungkus rokok. Aku setuju saja. Dan habis perkara sudah.
***
Dia malah tidur sesampainya di kost. Aku malah ingin berdiam sejenak. Aku kangen perempuan yang selalu menghanguskanku diranjangnya itu. Perempuan yang senantiasa menyimpan kenangan tentangnya di lipatan ingatanku.
Aku kemudian menyalakan komputerku dan perasaan ingin menulis puisi yang sempat hilang datang lagi. Ternyata aku ingin menulis puisi untuk seorang perempuan yang baru aku kenal. dia lebih berguna dari yang aku kira. Dari bayang dia yang coba aku raih di batas pikiranku, aku dapati potongan puisi. oh, ini sepatutnya menjadi tugas sang calon penyair. Penyair yang sedang berusaha mencari pengakuan dari masyarakat. Penyair yang kesepian.

Kemudian perlahan aku ingin terbakar oleh tubuhnya. Mungkin aku harus sedikit mengingat beberapa adegan ranjang dengannya. Seperti, bagaimana segalanya kepunyaanku habis ia hisap. Seperti menghisap sari-sari kekuatanku lalu lenyap dan lelah meliputiku, waktu itu.
***
Erik selalu pulang malam setelah merasa jalanan lengang. Ketika lalu lintas jalan mulai jarang kendaraan. Dan seribu kupu-kupu bulan, bermunculan dengan luka dan tangisan yang sangat rahasia, tak bisa didengar. Entah apa yang ia cari di suasana sepi itu. Aku kemudian keluar kost, menuju warung di jalan.
“Rokok.”
“Berapa?”
“Setengah bungkus.”
Aku hendak mencari makan, perut kelaparan. Tapi aku sempatin membeli rokok. Menghangatkan badan. Lagian angin tak enak di mulutku yang terbiasa menghisap batang rokok.

Malam sudah lumayan larut, hampir jam duabelas, aku sempat berpikir tak dapat makanan. Untung kawasan kampus, ada saja beberapa warung buka 24 jam. Meski kutahu, lauk yang dingin dan sisa tadi pagi yang tak laku dibeli orang. Ah lagi-lagi persetan.
Setelah beberapa lauk menemani nasi hangat dari aku santap habis. Aku sudah merasa kenyang dan waktunya kembali untuk pulang, tidur dan tak usah berpikiran tentang tugas Morfologi lagi, biarlah gimana nanti saja, besok pun masih sempat aku kerjakan. Aku menuju jalan. Menikung di gelap malam.
***
Oh, tidak kau, kataku setengah terkejut. Kudapati sepasang matamu lagi-lagi melukis kecemasan yang membadai. Aku tak sanggup memandangnya. Lalu kau tersenyum. Dan.
“Bahagia rasanya.”

Aku langsung memeluk tubuhnya. Tubuhnya yang sudah setengah beku. Mungkin dia sudah lama di sini. Di simpang jalan lengang tanpa lampu benderang dan hanya ada remang bulan. Dia masih memiliki tangan yang hangat dan bau parfum yang aku suka. Aku cintai dia seperti mencintai sebatang rokok satu-satunya. (rokok pada saat itu bukan main istimewanya).

Aku senang juga bisa tanpa sengaja bertemu dia. Aku seakan tak kehabisan cerita dalam obrolan yang keluar dari mulutku ini. Dia pun seakan tak bosan mendengar ocehanku meski terkadang harus menjadi obrolan yang sama sekali tak penting.
Lama juga waktu dibabat habis, dingin tak terasa lagi saat itu. Namun begitu obrolan yang sudah harus terulang lagi untuk kesekian kali, barulah aku tahu. Aku kehabisan cerita, dan dia nampak lelah mendengarkannya.
Aku harus bagaimana?
***
Kini setelah aku ambil keputusan mengajaknya ke kostan, aku sendiri bingung, apa yang bisa dilakukan di dalam ruang kotak penuh kekosongan. Tadi aku lihat sebelum masuk, kamar sebelahku lampunya mati, dan sekarang menyala. Mungkin dia terganggu oleh kedatangku dengan dia. Ah, tak apalah.

Aku segera menyuruhnya untuk tidur di kasurku yang tipis. Maaf kataku, aku tak punya kasur empuk nan hangat.
Dia malah tersenyum dan bersandar di punggungku, kau hangat. Katanya sambil terbenam begitu saja. Bagai seekor burung menemukan sarangnya di atas pohonan yang jauh tinggi dan aman.

Aku mencoba mencegahnya, aku mencegah diriku nekat lagi memberangus diri. Aku tak enak dengan kamar sebelahku bila ia ternyata mengatahui apa yang terjadi di kamarku bila lepas dari control kita berselancar lagi di lautan kasmaran, aku anggap perempuan itu dan aku sedang dilanda kasmaran berat yang tak bisa dihentikan apapun karena aku sendiri tak tahu apa sebabnya.
Perempuan itu seakan tak gelisah, malah membuka pakaiannya dan hanya menyisakan kutangnya saja dan celana dalamnya kemudian kembali meringkusku. Aku tergoda, tapi tetap tegar berusaha lepas cari cengkramannya yang membabi buta.
Dia bukan seorang yang pantang menyerah rupanya, dia malah berbisik padaku, kamu kangenkan sama hangat tubuhku, sambil mencoba meluruhkan lagi diriku.

Aku punya cara jitu, aku nyalakan komputerku. Siapa tahu dia mengerti tentang sikapku itu. Komputerku meraung suara kipas dan mesinnya, maklum komputer lama. Dia sedikit kecewa dan matanya kini terasa jenuh dengan perbuatanku, maafkan aku dalah hatiku padanya.
***
Ini puisi yang kutulis saat ingat kamu, seruku pada perempuan yang kucintai itu bagai menyukai permen manis di lidahku. Aku goyangkan tubuhnya yang kini telanjang. Aku merasa dia nyaman.
Lihat puisiku ini, bujukku, aku akan coba mengirimkannya ke koran-koran.
Dia melorot lagi dalam genggaman tanganku. Aku sedang merasa memberitahukannya bahwa ini semua karenamu aku bisa menulis. Tapi dia malah terus berpindah dari samping kananku, ke samping kiriku begitu seterusnya.
Aku tahu dia merasa tersanjung oleh ulahku. Aku segera memerhatikan lekuk tubuhnya yang penuh dengan cindramata itu. Kenangan yang manis dalam ingatan.

Oh tidak alangkah terkejutnya aku. Kutemukan berbagai luka lebam di antara tubuhnya. Di punggungnya, di dada, di dagu, di kening. Luka pukulan benda tumpul. Hatiku gusar, siapa yang berani menyakiti tubuh mulusnya ini. Aku bersumpah ingin mematikannya dalam cekikanku yang lambat agar tahu rasanya kematian.

Aku ciumi luka-lukanya dan kutemukan kisah baru. Oh aku terjun bebas di antara payudaranya lagi. Hangus sudah segalanya kembali. Menuju malam yang hangat dalam perapian. Dan pada luka-luka di tubuh perempuan itu, aku menemukan diriku, bapakku, ibuku, temanku, pamanku, orang asing, dan orang asing yang tak kukenali sebelumnya.
***
Pagi. Begitu terbangun dia sudah tak ada, hanya ada mesin komputerku dan printerku yang menyala. Ada kertas berserakan di mana-mana. Oh dia – perempuan itu – telah melakukannya sebelum aku bangun. Dia telah mengambil haknya sebagai perempuan yang kupinang malam itu, dengan beberapa puisi sebagai mahar, pengganti kebahagian yang tak kukira akan kurasa. Dan kudapatkan dari dia kenikmatan tiada tara. Aku ingat lagi dia – perempuan itu – berkata dia harus pulang ke rumah pamannya pagi sekali dan harus membawa uang setoran, sebelum matahari mencuri segalanya darinya. Dan kini kulihat matahari sudah muncul lagi dengan sinarnya yang membawa cerita usang dalam hidup yang siap dijalani lagi seperti hari sebelumnya.

pada 07 Januari 2009 jam 16:36

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer