31/03/11

SENJA DIATAS PASIR

Bintang yang tersembunyi didalam gelap bersandar pada langit yang menangis dengan sendu sedang gerimis lembut bertebaran menyapa bumi yang muram. Ia dibawah sebuah neon meringkuk antara kenyataan dan mimpi. Ia sedang berfikir tentang perasaannya. Bagaimana mungkin ia dibuat resah oleh perasaannya sendiri, bahkan ia pun tak pernah tau keindahan senyuman kekasihnya itu.

" Jelas ini cinta. . . Ya, jelas perasaan ini bukan sekedar bualan." pikirnya. Ia yakin almitra pun mencintainya seperti ia mencintai bayangan kekasihnya. 
Sebuah Pesan singkat membuyarkan lamunannya yang semakin menuntun pada rahasia.

" malam takkan mampu menakutiku dengan dosa cinta dan seharusnya cintamu padaku tak menabiri kenyataan, karena kebutaan akan menuntun kamu kedalam jurang." Hampir seratus kali pesan itu dibacanya, tapi tetap tak mengerti.

" Aku tak kira wanita lembut sepertinya mampu merangkai kata sedemikian rumit. Huh. . . Apa artinya, kenapa cinta lebih suka membuat semuanya menjadi rumit dan sulit dimengerti." gumamnya.
Hujan mulai tipis dan sebuah lagu berjudul Harmoni berdendang menemani suara gerimis.


" Segala kebaikan takkan terhapus oleh kepahitan. kulapangkan resah jiwa, karena ku percaya kan berujung indah."(1) Benarkah Almitra mencintainya?

Malam ini bulan masih sama, tapi mendung yang membuatnya terlihat lebih anggun. Mendung membuatnya seperti sedang menari dengan dibalut selendang sutra yang dikebaskan ke segala arah. Ia memberanikan diri untuk berhayal tentang Almitra kekasihnya." Oh. . . Almitra, lihatlah aku sayang! Apa yang kamu mau, Kebahagiaanku? Bahkan tak berharga nyawaku sendiri, karena hidupmu adalah surga bagi kebahagiaanku. Aku akan menyerahkan keangkuhanku, kita akan mengikat janji dibawah saksi Sang Gusti untuk menangguh kebahagiaan dan penderitaan berdua. Dan rumah kita adalah ruang suci tempat ritual dan pepujian yang kita dendangkan. Keringatku adalah kehidupan bagimu sedangkan bagiku senyummu adalah kebahagiaan."

                                                *     *     *     *     *      *

" Sayang, biarlah pagi mengelus rambutmu dan membuyarkan semua mimpimu semalam. Lihat dan Percayalah bahwa namaku serta tubuhku adalah kenyataan!" Melalui pesan singkat ia menyapa kekasihnya pagi ini.
" Mengapa kamu selalu bimbang, bukankah suaraku adalah kenyataan bagimu!" Almitra sangat bosan dengan kenyataan yang ditekankankannya." Sayang, apa yang kamu mau sebenarnya?"

" Aku ingin esok ketika pagi seperti ini, yang kurasakan adalah hembusan nafasmu."

" Ya. . . tapi kamu tau, keadaanku. . Bahkan sakitku. Rasanya aku mau mati saja, aku tidak mau kalau disuruh menjadi wanita penyakitan seumur hidup, lalu mati karena penyakitku sendiri."

" Iya aku mengerti. . . Kamu butuh uang berapa? Begini, aku punya sedikit uang dan mungkin bisa untuk kamu berobat."

" Tidak, simpan saja! Untuk apa, uang itu tidak akan mengubah gundahmu."

" Sudah. . Sudah. . Besok pagi akan kukirim uang ini. Semoga bermanfaat buat kamu." ia meyakinkan kekasihnya.

                                                *     *     *     *     *      *

Rejeki, Jodoh, dan Usia adalah sebuah jalan yang memang telah ditakdirkan. Sebab itu, hari ini ia tidak takut mengeluarkan uang untuk cinta. Meski ia tau, uang itu berarti untuknya. Hidup di Jogja tak jauh beda dengan kota lain di jawa, kekerasan hidup menjadi hiburan yang tidak lucu. Tapi ia yakin, diJakarta kekasihnya lebih sulit. Ibu kota dijadikan pelarian orang-orang ingin kaya, ibu kota tak pernah tidur dari ketakutan. Ibu kota sibuk memikirkan kesibukannya sendiri. Ya. . Itulah ibu kota beragam budaya beragam pula perutnya.

" Engkau Maha Mengetahui dan berkenan atas hidup. Dengan simpuh dan air mata, berilah untuknya nafas yang kau genggam dari surga. Karena takdirmu adalah kepasrahanku." gumamnya. Kemudian sebuah pesan singkat dibacanya dengan teliti. 

" Uang kamu uda aku ambil. Makasih sayang. . ."

" Iya, aku harap dengan uang itu kamu bisa berobat dan aku tau uang itu tidak seberapa. Ehm. . begini sayang. . " ia coba mengalihkan. " Aku mau ketemu kamu, minggu depan aku mau ke jakarta. Bagaimana?"

" Ia sayang, kalau itu jadi mau kamu."

                                                *     *     *     *     *      *


Jogja - Jakarta tidak terlalu menguras tenaga tetapi jumlah penumpang yang sangat penuh membuat suasana seperti didalam lemari yang sumpek kerena dijejali terus pakaian. Tak banyak hal yang bisa dinikmati dalam kereta malam. Jalan gelap, kerlap kerlip lampu hilang timbul oleh pepohonan. Suara pedagang yang tidak mempedulikan orang, asap rokok yang mengepul lalu habis diudara.

" Apa yang sedang dilakukan Almitra malam ini, apakah dia sedang memikirkanku, ataukah dia sedang tertidur manis didalam kamarnya?" ia tau semua pertanyaan itu takkan terjawab, tapi saat ini ia lebih suka berkhayal. Lamunannya menembus jendela kaca kereta lalu terbang diatas pematang sawah. Menari-nari diatas awan dan berlari bersama angin, melayang, lalu jatuh diatas rumah yang diimaginasikannya. Mengintip di kegelapan malam, memperhatikan setiap lekukan tubuh kekasihnya yang sedang tertidur pulas. Lalu membisikkan seuntai kata, “Aku cinta padamu.”

Fajar menyapanya dibalik bukit dengan langit yang biru dan udara yang menggigit setiap pori pori tubuhnya yang lembut. Ia tau, bahwa ia harus bersiap-siap turun. Dan tak lama besi-besi yang berjalan itu berhenti di rumahnya yang ramai orang.
“ Almitra sayang, alhamdulilah aku uda sampe Jatinegara. Dari sini aku langsung ke pantai, aku tunggu kamu disana sayang.” Ia menyapa kekasihnya. Tapi sepertinya ponselnya tak bergetar  pertanda pesan masuk.

 Ia duduk diatas pasir kering dibawah langit yang menyengat. Ia menunggu kekasihnya bersama burung-burung camar yang sesekali menyentuh air dan keong-keong yang sibuk menggambar garis-garis dipantai. Ia tersenyum bahagia didalam deru ombak, lalu menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya kebelakang. Ia melihat langit sebiru lautan dan awan seputih melati yang ditanam diatas tanah para leluhurnya di desa. Ia sangat menikmati saat-saat menunggu kekasihnya, sebentar lagi ia akan benar benar merasakan nafas almitra sesunggunya.

Waktu seperti lembar-lembar kertas pada kalender harian, sobek satu persatu hingga waktu benar-benar menjauh dan senja sedikit demi sedikit mulai menggelayut dilangit.
“Rupanya langit akan berubah warna. . Kemana kamu sayang, seharusnya saat senja seperti ini kamu ada disini. Lalu kita bercerita tentang hidup kita, tentang mimpi kita, tentang masa depan kita. Tapi kenapa kamu tak datang.”

Ombak berbisik padanya.
“Hai bodoh, tengoklah sekelilingmu. Bahkan senyum yang kau harapkan pun tak kau temui. Apakah cinta telah menjadikanmu laki laki bodoh seperti ini!”

“Iya betul!” seekor kepiting tua mendekatinya “ Cinta itu seperti senja ini, indah bukan. Tapi lihat, tak ada yang abadi. Langit yang memerah itu perlahan akan buram lalu gelap, semua keindahan akan muram, sunyi, dan menakutkan.”

“Aku tau ini gila, tapi ada sesuatu yang membuatku untuk tetap menunggu disini. Aku percaya diaakan dating, dan seperti senja inipula. Walau dia mati dalam lautan tapi aku masih merasakan getarannya. Dan pasti esok senja akan membelai tengkukku. Hah. . . Andai aku mampu seperti Sukab (2), mungkin aku pun akan menyimpan keindahan senja ini didalam amplop. Lalu kuposkan padamu.” angin laut menerpa tubuhnya yang terduduk diatas pasir basah.
“Akankah kau mengejutkanku ketika aku sudah sangat putus asa menunggu. Mungkin ketika senja ini benar benar ditelan lautan kau akan memelukku?” ia menghela nafas panjang “ Taukah kamu sayang, disini hatiku kau buat resah atau taukah aku menangis dibawah alam yang mengguyoniku ini?

 Langit mulai berubah, kemerahan akan berganti gelap yang sunyi. Dan sampai saat kekasihnya tak juga datang, maka ia tetap duduk disana. Bersama ombak, pasir, kepiting, siluet, dan janji sebuah senja.

Bekasi, 22-November-2010
oleh Fajar Herlambang pada 22 November 2010 jam 21:56

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer